Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Segala puji untuk Allah Rabb seru sekalian alam.” (QS. al-Fatihah: 1)
Ayat yang agung ini menyimpan berbagai mutiara hikmah, diantaranya:
- Penetapan bahwasanya hanya Allah ta’ala yang berhak mendapatkan pujian yang sempurna karena imbuhan al dalam kata alhamdu menunjukkan makna mencakup keseluruhan bagiannya (lihat Tafsir Juz ‘Amma Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 9)
- Dalam segala kondisi maka Allah berhak mendapatkan pujian. Oleh sebab itu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sesuatu yang menyenangkan beliau maka beliau pun berdzikir, ‘Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat’ artinya: Segala puji bagi Allah yang dengan curahan nikmat-Nyalah maka segala kebaikan menjadi sempurna. Demikian juga apabila beliau menjumpai keadaan yang sebaliknya (tidak menyenangkan) maka beliau berdzikir, ‘Alhamdulillahi ‘ala kulli haal’ artinya: Segala puji bagi Allah dalam kondisi apapun (lihat Tafsir Juz ‘Amma Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 9).
- Yang dimaksud pujian –alhamdu– di sini adalah sanjungan yang diiringi dengan rasa cinta dan pengagungan (lihat Tafsir Juz ‘Amma Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 8 )
- Allah senantiasa dipuji dikarenakan kesempurnaan dzat-Nya, keindahan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta keagungan perbuatan-perbuatan-Nya. Selain itu Allah juga dipuji karena anugerah nikmat yang dicurahkan oleh-Nya kepada seluruh makhluk-Nya (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12). Karena Allah adalah al-Mu’thi -yang maha pemberi- dan al-Mun’im -yang mengaruniakan nikmat- maka dialah yang patut untuk selalu dipuji..
- Allah juga terpuji karena ketetapan hukum-Nya, yaitu hukum kauni -hukum yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya di dalam dunia ini- demikian juga hukum syar’i -yang berupa ketetapan hukum ilmiah dan amaliah bagi mukallaf/orang yang dibebani syari’at- begitu pula dalam hal hukum ukhrawi yang ditetapkan oleh-Nya berupa balasan dan hukuman bagi hamba-Nya di alam akherat (lihat Jam’ul Mahshul fi Syarh Risalah Ibnu Sa’di fi al-Ushul, hal. 13-14)
- Di dalam ayat tersebut Allah lebih mendahulukan sifat uluhiyah/sesembahan -yaitu yang terkandung dalam kata Allah- daripada sifat rububiyah/pemeliharaan -yaitu yang terkandung dalam kata Rabb-, hal ini dimungkinkan karena 2 alasan: Pertama, karena kata Allah itu adalah nama khusus bagi-Nya yang disifati oleh semua nama/Asma’ul Husna yang lain sehingga dikedepankan. Atau yang kedua, karena orang-orang yang didakwahi oleh para rasul adalah golongan orang-orang yang menolak keesaan Allah dalam hal uluhiyah-Nya, artinya mereka membagi-bagi ibadah mereka tidak hanya untuk Allah tapi juga untuk selain-Nya (lihat Tafsir Juz ‘Amma Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 9)
- Karena Allah satu-satunya pemelihara seluruh alam semesta ini maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi, tidak ada yang menerima ibadah selain Allah (lihat Risalah Tsalatsat al-Ushul yang dicetak dalam Majmu’ah at-Tauhid, hal. 20)
- Rububiyah atau pemeliharaan Allah itu berlaku mencakup semua makhluk (lihat Tafsir Juz ‘Amma Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 9). Sehingga ayat ini menunjukkan keesaan Allah dalam hal rububiyah-Nya (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 8). Rububiyah Allah itu mencakup tiga hal pokok, yaitu: mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta (lihat lihat Tafsir Juz ‘Amma Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 9).
- Ayat ini mengandung pilar ibadah yang sangat agung yaitu al-Mahabbah/rasa cinta. Karena Allah adalah al-Muhsin -yang melimpahkan segala kebaikan- dan Dia juga al-Mun’im -yang mencurahkan semua nikmat- maka sebagai konsekuensinya adalah hanya Allah yang layak dicintai dengan puncak kecintaan yang tertinggi dan tidak boleh ditandingi dengan kecintaan kepada apapun juga (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12)